seumur umur baru kali ini gue melakukan kegiatan ‘alamiah’, melakukan aktivitas yang terkait alam. sebelumnya gue ga pernah trekking, camping, hiking dan sejenisnya.
maka ketika tiba-tiba gue ‘harus’ ikut kegiatan trekking. gue senang bercampur khawatir. sama sekali tidak ada persiapan untuk melakukan kegiatan trekking, karena baru last minute tahunya bahwa ‘harus’ ikut trekking.
trekking adalah aktivitas berjalan kaki dalam jarak panjang melintasi alam (terutama bukit dan pegunungan), oleh karena itu butuh adanya persiapan yang cukup.
ketika guide datang mempertanyakan kesiapan orang-orang yang hendak ikut, ternyata ada beberapa yang ‘senasib’ dengan gue, ga siap 😀
peralatan yang penting dibawa sebelum trekking, antara lain: air minum, jas hujan, obat-obatan personal, dan kalau bisa sepatu/sendal pengganti.
untuk sepatu, sebaiknya memang sepatu yang mempunyai cengkraman yang bagus kepada tanah terutama dengan tanah yang basah.
permasalahannya adalah, sepatu gue yang akan dipakai trekking ini adalah sepatu jalan biasa dan solnya sudah aus. hadeh.
guide menyarankan pemanasan sebelum berangkat, jadi kita melakukan stretching a la orang yang hendak bermain futsal.
perjalanan trekking dimulai, awalnya masih melewati gang gang biasa yang dihuni penduduk lokal. lalu melewati kandang-kandang ternak ayam, kerbau, atau kambing. itu pun sudah menanjak dan menurun, namun setapaknya masih berbentuk hasil semenan atau batu-batu.
trekking sebenarnya barulah dimulai setelah melewati rumah-rumah penduduk lokal tersebut, ketika sudah memasuki area persawahan.
jika hujan tidak turun, maka trek kering masih agak pede dilewati, tapi karena hujan, maka treknya basah dan berlumpur.
di sinilah mulai perjuangan kedua gue melakukan trekking ini, yaitu sol sepatu yang licin.
eh iya perjuangan pertamanya adalah berjalan mendaki yang lumayan bikin napas terengah-engah.
dengan berlumpurnya trek yang memperlicin setapak yang harus dilewati, mengakibatkan gue terpeleset, bukan hanya dua tiga kali, entah seberapa sering.
guide-nya dengan serta merta membantu dengan ‘memberikan’ lengannya untuk dijadikan pegangan ketika naik atau turun pada trek yang licin.
ketika gue tanya trick-nya gimana supaya tidak terpeleset, gue mendapatkan dua jawaban, yaitu dengan memiringkan kaki ketika menjejak, atau karena sol sepatu gue sudah tipis, dengan menggunakan jari-jari kaki untuk mencengkeram ke tanah. opsi kedua kaya’nya susah, karena tetap mana bisa jari kaki gue mencengkeram tanah. pakai opsi pertama pun tidak sukses, karena tetap saja licin.
ya sudah, pegangan ke lengan guide-nya aja kalao gitu.
tak beberapa lama, berpapasanlah kita dengan beberapa orang (asing) yang (tampaknya) sudah (selesai dan sekarang) menuju jalan balik. persiapan para trekker yang ditemui ini tampaknya lebih mantap, dari sepatu, sehingga menggunakan tiang penyangga.
lalu kemudian bertemu dengan pesepeda yang juga sedang mengarah ke tujuan yang sama.
yup, sepeda juga lewat situ, makanya tanahnya legok cukup dalam di bagian tengahnya.
bingung, apa iya sepeda itu bisa dinaiki, jangan-jangan cuma dituntun aja sambil jalan. yang notabene lebih berat, apalagi kalau ditambah roda yang mampet karena tertumpuk lumpur.
jalur yang dilewati oleh pesepeda ini adalah jalur yang memang umum dilewati trekker.
tapi kemarin ternyata juga diajak melewati jalur yang tidak umum, yang melewati pematang sawah serta kebun penduduk lokal.
beberapa kali gue harus berpegangan dengan tumbuhan untuk mencegah gue terpeleset jatuh, pas lewat pematang sawah pun terkadang gue terpaksa berpegang pada padi yang masih hijau itu.
padahal petaninya berupaya mengusir hama dan burung yang mengincar padinya, eh ini gue, manusia, ternyata juga ikut merusak padinya.
mohon maaf.
dan gongnya yang paling bikin lelah adalah psikologis ketika tahu bahwa untuk kembali pulang, harus melewati jalan yang sama ketika tadi datang.
[…] ada beberapa wisata alam seperti goa gerunggang, serta curug putri kencana. kalau ke goa harus hiking/trekking, sementara kalau ke curug kencana bisa menggunakan […]